Bisa mengancam keberlangsungan makhluk hidup di bumi, krisis iklim harus segera diatasi.
ESG Indonesia – Aksi iklim yang ambisius untuk mencegah bumi mengalami dampak krisis iklim yang lebih buruk nampaknya belum begitu maksimal. Kepentingan industri bahan bakar fosil masih mendominasi, sehingga kesepakatan dalam konferensi iklim global COP 28 Dubai pun nampaknya penuh dengan celah dan kekurangan.
Meski begitu banyak desakan untuk mengakhiri era bahan bakar fosil, dan masih terdapat ruang pembahasan untuk bertransisi ke energi terbarukan dan efisiensi energi. Sayangnya aspirasi global ini tidak didengarkan.
Pada teks drafglobal stocktake, seluruh delegasi negara mengakui dan peduli bahwa tahun ini merupakan tahun terpanas sejak pencatatan suhu bumi dimulai.
Dalam dokumen tersebut juga termuat beberapa penekanan di sektor energi seperti menaikkan target pemanfaatan energi terbarukan hingga tiga kali lipat dan melipatgandakan laju efisiensi energi pada 2030, melibatkan secara komprehensif kelompok rentan termasuk di dalamnya masyarakat adat, masyarakat terdampak, penyandang disabilitas dalam proses transisi yang berkeadilan, serta mencapai emisi nol bersih di 2050.
Namun, di dalam teks kesepakatan tersebut tidak terdapat mandat untuk menghapus pemakaian energi fosil (fossil fuel phase out), padahal komitmen ini diperlukan untuk mempercepat transisi energi dan pencapaian target 1.5 derajat.
Mobilisasi pendanaan iklim sebesar 700 juta USD telah tercapai untuk ‘mengganti’ kehilangan dan kerusakan yang dialami oleh negara-negara terdampak krisis iklim. Tentu, hal tersebut tidak cukup bagi masyarakat terdampak krisis iklim, yang memerlukan komitmen tegas terhadap penghentian penggunaan bahan bakar fosil secara cepat dan adil. Juga diperlukan skema pendanaan komprehensif bagi negara-negara berkembang, untuk melakukan transisi ke energi terbarukan, untuk mengatasi dampak krisis iklim yang makin katastropik.
Lalu, bagaimana kesepakatan ini akan diturunkan dalam kebijakan iklim di Indonesia?
Greenpeace Indonesia dan LPEM UI baru- baru ini menyebut Indonesia masih akan terkunci oleh batu bara (coal lock-in). Hal ini terlihat pada ketergantungan terhadap ekspor batu bara sebesar 16% dari ekspor nasional pada 2022 (BPS 2023).
Selain itu, persepsi yang dibangun bahwa pertumbuhan ekonomi berkelanjutan membutuhkan keamanan energi yang saat ini disediakan oleh batubara. Hal ini , membuat Indonesia sulit untuk melakukan transisi energi.
Greenpeace Indonesia juga menyoroti keberpihakan pemerintah pada batu bara seperti kebijakan kewajiban pasar domestik (DMO), batu bara bersih, kebijakan fiskal pro batu bara, royalti 0%, hingga pembangunan PLTU yang masih terus berlanjut.
Sementara kebijakan yang diperuntukkan untuk pengembangan energi terbarukan masih dibatasi, iklim investasi energi terbarukan tidak cukup menarik, serta regulasi EBT yang kerap berubah sehingga memberikan ketidakpastian hukum bagi investor.
“Jebakancoal lock inini membuat Indonesia makin sulit untuk melakukan transisi energi,” ucap Adila Isfandiari, Pengkampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.
Menurutnya, harus ada reformasi kebijakan dan kemauan politik yang kuat untuk keluar dari ketergantungan pada energi fosil. Dampak krisis iklim sudah sampai di meja makan kita, kehilangan dan kerugian akibat gagal panen dan gagal tanam sudah terjadi dimana-mana.
“Penghapusan penggunaan batubara harus dilakukan secara cepat dan adil, hapus solusi palsu seperti PLTU kawasan, co-firing biomassa dan gasifikasi batu bara dari skema transisi energi, serta mendorong peran PLN untuk menghasilkan regulasi turunan yang memperkuat proses transisi energi,” tegasnya.
Sedangkan pada sektor kehutanan, COP28 menyepakati perlu adanya penguatan upaya melawan deforestasi dan penggundulan hutan pada 2030, hingga melestarikan keanekaragaman hayati pada lanskap darat dan ekosistem laut dalam mnegatasi krisis iklim.
COP28 juga menolak permintaan negosiasi perdagangan emisi karbon secara murah. Ini seharusnya menjadi peringatan bagi para promotor dan pelaku perdagangan karbon, yang merupakan solusi palsu penurunan emisi. Sayangnya, dari kesepakatan COP28 tahun ini, tak ada komitmen tegas untuk menghentikan deforestasi.
“COP28 sudah menolak negosiasi perdagangan karbon dan menyepakati pendekatan nonpasar dalam isu karbon. Ini membuka harapan akan adanya alternatif kerja sama yang menciptakan sinergi antara mitigasi iklim, adaptasi, pembangunan berkelanjutan, serta pelindungan dan restorasi ekosistem,” ungkap Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
“Kami kecewa karena tak ada komitmen tegas menghentikan deforestasi. Di tingkat nasional, pemerintah seharusnya bisa lebih progresif untuk menurunkan emisi karbon dari sektor kehutanan,” sambungnya.
Di Indonesia, pemerintah menerapkan kebijakan FOLU Net Sink 2030 untuk menurunkan emisi karbon dari sektor kehutanan dan alih fungsi lahan. Pemerintah menargetkan hutan Indonesia tidak lagi berkontribusi terhadap pelepasan emisi gas rumah kaca, melainkan lebih banyak berperan menyerap karbon atau berfungsi sebagaicarbon sinkpada akhir dekade ini.
Analisis Greenpeace Indonesia justru menemukan sebaliknya. Bukannya menurunkan emisi dan mengatasi krisis iklim, strategi FOLU Net Sink 2030 justru berpotensi melanggengkan deforestasi dan kerusakan hutan alam. Pemetaan Greenpeace Indonesia menunjukkan deforestasi masih berisiko terjadi hingga puluhan juta hektare, karena kebijakan FOLU Net Sink 2030 tak dilengkapi aturan operasional pelindungan hutan dan gambut yang tegas, terutama di kawasan hutan produksi.
Greenpeace menyebut pemerintah menyesatkan mengenai pelepasan karbon dari deforestasi hutan alam dapat diganti (offset) dengan penyerapan karbon jangka pendek dari pembangunan hutan tanaman industri.
“Pemerintah Indonesia harus merombak target FOLU Net Sink 2030, mencegah deforestasi dan mengurangi lajunya hingga ke titik nol, berhenti menerbitkan perizinan di lanskap gambut, memulihkan hutan dan gambut yang rusak, serta libatkan masyarakat adat dan masyarakat lokal dalam pelindungan dan pengelolaan hutan berkelanjutan,” ujar Iqbal.