2023 jadi tahun terpanas, kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat Celsius dikhawatirkan lebih cepat terjadi dari yang diperkirakan pada 2030 dengan kondisi kenaikan suhu saat ini.
ESG Indonesia – Tahun ini masyarakat merasakan cuaca panas yang lebih terik dari tahun-tahun sebelumnya. Hasil analisis lembaga pemerhati perubahan iklim Climate Central menunjukkan bahwa November 2022 sampai Oktober 2023 merupakan periode terpanas sepanjang sejarah. Disebutkan Climate Central, selama periode itu rata-rata temperatur global 1,3 derajat Celsius di atas temperatur pada masa praindustri.
Mengacu hasil studi Climate Central, sebagai salah satu negara Asia yang beriklim tropis, Indonesia juga mengalami kenaikan suhu dalam setahun terakhir. Berdasarkan perhitungan Indeks Pergeseran Iklim, Indonesia menempati urutan teratas di antara negara-negara anggota G20 dengan angka rata-rata 2,4, mengalahkan Arab Saudi (2,3) dan Meksiko (2,1).
Hasil analisis Climate Central pada 14 kota di Indonesia menunjukkan bahwa ada sembilan kota yang mengalami hari terpanas beruntun. Jakarta dan Tangerang tercatat mengalami hari terpanas beruntun selama 17 hari, membuat kedua kota itu bersama dengan New Orleans di Amerika Serikat menempati urutan kedua dalam daftar kota-kota dunia dengan hari terpanas beruntun.
Adapun, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyampaikan bahwa berdasarkan data dari Organisasi Meteorologi Dunia, tahun 2023 dinyatakan menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah pencatatan iklim.
“Dari data Organisasi Meteorologi Dunia, Juli-Agustus 2023, tercatat sebagai tiga bulan terpanas sepanjang sejarah, dengan menyimak evolusi iklim 2023, tahun ini berpeluang besar akan menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah pencatatan iklim,” kata Kepala BMKG, Rabu (8/11/2023).
Suhu panas di 2023 lebih kuat saat terjadi El Nino tujuh tahun sebelumnya. Bahkan organisasi meteorologi dunia menyimpulkan, ada potensi terjadinya kekeringan yang besar akibat tren kenaikan suhu sebagai dampak perubahan iklim tersebut.
Dampak El Nino pada tahun ini mengakibatkan bencana iklim di sejumlah negara 2023. Sebagai contoh, Italia, Yunani, dan Afrika Utara yang pada Juli 2023, suhunya sempat mencapai 47 derajat Celcius. Bahkan Amerika di bagian barat mencapai 53 derajat Celsius, dan selama 31 hari berurutan, suhu mencapai lebih dari 43 derajat Celsius.
“Ini belum pernah terjadi sebelumnya, akibat dari gelombang panas yang terjadi di banyak tempat secara bersamaan, dan Juli 2023, tercatat sebagai bulan terpanas sepanjang sejarah, rata-rata lebih panas dari 30 tahun sebelum ini,” ucap Dwikorita Karnawati.
Meski tahun 2023 dinyatakan menjadi tahun terpanas, Kepala BMKG menyebutkan, untuk sementara Indonesia masih berada di kondisi yang relatif aman, kemungkinan besar disebabkan oleh wilayahnya yang lembab dan dikelilingi oleh samudera yang lebih luas dari daratan.
Diingatkan gaya hidup masyarakat yang tidak peduli pada lingkungan bisa menyebabkan kekeringan secara lokal. Ketika El Nino menguat bisa berdampak pada kekeringan selama tiga bulan lebih, dan trennya ini akan semakin meningkat.
Profesor Edvin Aldrian, peneliti BRIN yang menjadi penulis Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change, menyebutkan bahwa kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat Celsius dikhawatirkan lebih cepat terjadi dari yang diperkirakan pada 2030 dengan kondisi kenaikan suhu saat ini.
“Memang ada faktor-faktor alam seperti fenomena El Nino, atau posisi matahari yang mendekati Bumi, tetapi aktivitas manusialah yang paling banyak memengaruhi kenaikan suhu global ini,” katanya, seperti dilansir indonesia.go.id
Pihak BMKG mengingatkan, dampak lanjut dari kenaikan suhu akibat gaya hidup tidak ramah lingkungan yang berakibat pada kekeringan. Jika tidak diantisipasi akan berujung pada terganggunya ketahanan pangan di pertengahan abad 21 atau sekitar 2050.
Stok pangan dunia menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) bisa terancam. Pasalnya, hampir 500 juta petani skala kecil yang memproduksi lebih dari 80 persen stok pangan dunia, paling rentan terhadap perubahan iklim.
Untuk menghadapi krisis iklim global tersebut, pihak BMKG menekankan pentingnya upaya adaptasi dan mitigasi melalui tiga pilar yang saling terkoneksi, yakni kebijakan, pelayanan, dan sains.