Dalam masa transisi energi menuju Net Zero Emission (NZE) 2060, energi yang bersumber dari hidrokarbon, khususnya gas alam, masih memegang peranan penting sebagai penopang ketahanan energi nasional.
ESG Indonesia – Gas alam bisa mengambil peranan penting selama masa transisi energi karena melepaskan emisi karbon dioksida paling rendah dibandingkan bahan bakar fosil lainnya. Sehingga gas alam kerap dipilih sebagai substitusi batu bara dalam transisi energi, sebelum sepenuhnya menggunakan energi baru terbarukan (EBT).
Transisi energi merupakan salah satu upaya pemakaian energi fosil ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan. Dalam pelaksanaannya transisi energi termasuk satu dari sekian banyak bentuk mitigasi atau usaha meredam perubahan iklim.
Melansir Datanesia, Badan Energi Internasional (IEA) mencatat: tahun 2022 memecahkan rekor tertinggi emisi karbon dioksida sejak pencatatan yang dimulai pada tahun 1990. Emisi gas rumah kaca dari produksi energi tumbuh 0,9%, menjadi 36,8 gigaton. Sementara emisi karbon dioksida dari batu bara tumbuh 1,6%.
Namun pada kenyataannya, penggunaan bahan bakar fosil terus tumbuh. Bahkan menurut Dana Moneter Internasional (IMF), nilai subsidi bahan bakar fosil global mencetak rekor terbaru, yakin mencapai US$7 triliun pada 2022, naik 18% dibanding 2021.
Artinya, penggunaan energi yang bersumber dari energi fosil, seperti minyak dan gas bumi (migas) akan tetap digunakan. Sebelum target Net Zero Emission (NZE) tercapai di 2060, energi yang bersumber dari hidrokarbon, khususnya gas bumi, masih memegang peranan penting sebagai penopang ketahanan energi nasional.
Jika merujuk pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), gas bumi diharapkan dapat digunakan secara optimum. Hal ini dikarenakan gas bumi dipandang sebagai sumber energi fosil yang relatif lebih bersih dibanding minyak bumi.
Produksi gas alam dalam negeri (termasuk turunannya yaitu LNG dan LPG) pada 2022 mencapai 364 juta barel setara minyak (BOE) atau 11,9 % dari total produksi energi domestik. Produksi ini masih terbilang kecil jika dibandingkan dengan produksi batu bara yang mencapai 2,3 miliar barel setara minyak atau 61% dari total produksi domestik.
Dari sisi penggunaan domestik, pemanfaatan gas alam dan turunannya masih terbilang rendah. Pada tahun lalu hanya 322 juta barel setara minyak atau 13,2% dari total pemanfaatan energi. Sedangkan turunannya, yakni LNG sebanyak 938 ribu barel setara minyak atau 0,03% dan LPG sebanyak 72 juta barel setara minyak atau 3,1%.
Produksi LPG atau gas minyak cair di dalam negeri cenderung stagnan selama 10 tahun terakhir. Padahal, penggunaan domestiknya terus tumbuh setiap tahun. Pada tahun lalu, penggunaan domestik mencapai 8,6 juta ton. Konsumsi domestik ini banyak disuplai dari impor LPG yang tumbuh 104,2% dalam kurun 2013- 2022. Pada tahun lalu, impor LPG mencapai 6,7 juta ton.
Berdasarkan BP Statistical Review of World Energy 2022, porsi gas bumi dalam bauran energi primer global saat ini adalah sekitar 24% dan diproyeksi terus meningkat. Konsumsi gas bumi global selama 2011-2021 tercatat meningkat sekitar 1,78% per tahun.
Sampai dengan 2030, rata-rata konsumsi gas alam global diproyeksikan terus meningkat hingga mencapai sekitar 74 billion cubic feet (bcf) per hari di tahun 2030. Sekitar 76% dari porsi peningkatan konsumsi gas bumi global tersebut diproyeksikan terutama berasal dari negara-negara Non-OECD.
Sementara target bauran energi 2015-2050 yang merujuk pada RUEN, persentase pemanfaatan gas bumi ditetapkan paling sedikit 22 persen di 2025 dan minimal 24 persen di 2050. Menilik porsi alokasi gas alam yang semakin besar serta kebutuhan energi yang kian meningkat seiring peningkatan pertumbuhan ekonomi, Indonesia harus bisa memenuhi kebutuhan gas di sektor domestik.
Pada 2022, nilai impor elpiji mengalami lonjakan hingga empat kali lipat dari tahun sebelumnya, menjadi Rp238 triliun. Padahal pertumbuhan volume dari impornya hanya 618 ribu ton. Lonjakan ini merupakan dampak dari melambungnya harga-harga komoditas akibat perang Rusia-Ukraina.
Dari keseluruhan subsidi, elpiji (LPG) ukuran 3 kilogram memperoleh porsi subsidi terbesar, yaitu 39,7% atau senilai Rp100,4 triliun. Nilai dan porsi ini merupakan subsidi elpiji tertinggi, sekaligus subsidi energi terbesar selama 22 tahun terakhir.
Dikesempatan lain, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Dwi Soetjipto menyampaikan bahwa terkait gas, termasuk LNG (liquefied natural gas), sektor hulu migas berkomitmen untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri terlebih dulu.
Kebutuhan gas di 2025 diperkirakan mencapai 44,8 million ton oil equivalent (MTOE). Di 2050, volume kebutuhan gas diperkirakan naik menjadi 113,9 MTOE. Guna mencukupi kebutuhan tersebut, dibutuhkan pasokan gas bumi sebesar 89,5 MTOE atau setara 9.786,7 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) di 2025 dan 242,9 MTOE atau setara 27.013,1 MMSCFD di 2050.