Indonesia hadapi tiga tantangan besar dalam percepatan transisi energi di Indonesia yaitu pendanaan, akses energi bersih hingga riset dan teknologi.
Transisi energi menjadi salah satu jurus pemerintah dalam mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia dalam Paris Agreement, yakni mengendalikan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 31,89% (dengan upaya sendiri) dan 43,20% (dengan dukungan pihak luar) pada tahun 2030. Bahkan, Indonesia juga menargetkan Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.
Namun ambisi pemerintah dalam mempercepat transisi energi di Indonesia tak sepenuhnya berjalan mulus. Presiden Jokowi menyebut ada tiga tantangan besar dalam transisi energi yang perlu mendapatkan perhatian semua pihak.
Tantangan pertama terkait dengan akses energi bersih, dunia menghadapi kenyataan bahwa tidak semua warga memiliki akses pada energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan, dan modern.
Tantangan kedua, perlunya dukungan riset dan teknologi, yaitu peran ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menghasilkan teknologi baru yang lebih efisien dan lebih kompetitif sehingga bisa menurunkan biaya dan meningkatkan nilai tambah pada produk industri energi baru terbarukan.
Terakhir, tantangan yang tak kalah penting yaitu masalah pendanaan, lantaran proses transisi membutuhkan dana yang sangat besar. Sementara rencana pendanaan transisi energi bagi Indonesia sebesar US$20 miliar melalui mekanisme Just Energy Transition Partnership (JETP) hingg kini masih belum jelas. Padahal, janji dana itu pertama kali disampaikan oleh kemitraan negara-negara maju yang tergabung dalam International Partners Group di sela-sela konferensi G20 pada tahun lalu.
Ketidakpastian pendanaan juga diungkap oleh Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, bahwa dana yang didapat Indonesia dari JETP hanya sekitar US$130 juta atau Rp1,99 triliun. Angka tersebut jelas tak sesuai dengan komitmen JETP senilai US$ 20 miliar.
Pendanaan yang seharusnya menjadi salah satu kunci mendorong transisi energi itu pun kini justru menjadi jalan terjal bagi Indonesia. Artinya, rencana pemerintah memensiunkan dini PLTU batu bara menjadi terhambat, begitu pun dengan transisi bahan bakar fosil yang menyebabkan polusi, pemanasan global hingga perubahan iklim.
Lalu, bagaimana kinerja sistem energi di Indonesia saat ini?
Sistem energi di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan banyak negara di dunia, seperti terlihat melalui The World Energy Trilemma Index atau Indeks Trilema Energi yang dikeluarkan oleh World Energy Council.
The World Energy Trilemma Index merupakan indeks yang diberikan kepada suatu negara berdasarkan kemampuan negara tersebut dalam menyediakan energi secara berkelanjutan, kemudahan akses atas energi dan perlindungan terhadap lingkungan.
Pada tahun 2022, The World Energy Trilemma Index menempatkan Indonesia pada peringkat 53 dari 127 negara. Skor Indonesia sebesar 59,7 tersebut masih di bawah Brunei Darussalam (71,8), Malaysia (69,4), Singapura (69,4) dan Thailand (61,9). Peringkat tersebut membuat pemerintah harus bekerja lebih keras untuk mengejar ketertinggalan dalam transisi energi.
Sementara untuk peringkat teratas indeks tersebut diduduki negara-negara di belahan utara bumi yang mengalami musim salju dan dingin, sedangkan peringkat terbawah indeks tersebut banyak diisi oleh negara-negara di Afrika.
Melansir datanesia, Indeks Trilema Energi mengukur kinerja tiap negara di sektor energi dalam tiga dimensi: ketahanan energi, keadilan energi, dan keberlanjutan lingkungan.
1. Ketahanan Energi Indonesia
Indonesia sempat mengalami pertumbuhan melesat untuk skor ketahanan energi. Skor ketahanan energi pada 2018 yang sebesar 54,95 tumbuh menjadi 64,93 pada 2019, kemudian naik kembali pada 2020 sebesar 66,73. Sayangnya skor ini mengalami penurunan dalam dua tahun terakhir. Pada 2022, skor ketahanan energi di Indonesia sebesar 66,08.
2. Keadilan Energi Indonesia
Sementara untuk skor kesetaraan energi merupakan yang paling rendah dari tiga dimensi yang dinilai. Kendati demikian, komponen ini membaik selama tiga tahun terakhir. Pada 2022, skor Indonesia untuk komponen kesetaraan energi sebesar 51,31.
3. Keberlanjutan Lingkungan Indonesia
Selama lima tahun terakhir, komponen keberlanjutan lingkungan cenderung mengalami penurunan. Bahkan pada 2022 mencapai posisi terendahnya dalam lima tahun terakhir, yakni dengan skor 63,7. Komponen ini mewakili transisi sistem energi suatu negara menuju mitigasi dan menghindari potensi kerusakan lingkungan.
Konsumsi Energi Terbesar RI
Jika sebelumnya sektor transportasi menjadi pengonsumsi energi terbesar di Indonesia, kini peran itu diambil alih oleh sektor industri. Pada 2022, sektor industri menyerap 534,8 juta barel setara minyak (BOE) untuk beroperasi atau 45,1% dari total penggunaan energi di Indonesia. Sedangkan porsi sektor transportasi sebesar 36,2%.
Di sisi lain, konsumsi energi di Indonesia mencapai 1,2 miliar barel setara minyak. Angka ini melebihi konsumsi energi pra pandemi sebesar 1,0 BOE. Meningkatnya konsumsi energi dari tahun ke tahun membuat pemerintah pun harus bergerak cepat dan menemukan jurus yang tepat dalam melakukan transisi energi, sebagai salah satu upaya menyelamatkan bumi di masa depan.