Sabtu, 12 Okt 2024

Tuai Kritik, PLTU Batu Bara Masuk Taksonomi Hijau Dinilai Bertentangan dengan Target NZE

Aktivis mendesak OJK untuk menghentikan rencana label hijau PLTU Batu bara dari skema pembiayaan hijau.

Rencana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang akan merevisi Taksonomi Hijau Indonesia (THI) terkait peluang pembangkitan listrik tenaga uap (PLTU) batu bara bisa mendapatkan pembiayaan berkelanjutan menuai kritikan. Koalisi Setara (Koalisi Selamatkan Kalimantan Utara) menilai masuknya PLTU dalam taksonomi hijau sama halnya dengan menjauhkan komitmen Indonesia untuk melakukan transisi energi dari jalur rendah karbon yang sesungguhnya.

“Pelabelan hijau ini hanya akal-akalan industri batu bara untuk melakukan greenwashing,” ujar Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia dalam keterangan resminya.

“Di satu sisi Indonesia berkomitmen untuk melakukan transisi energi, mengubah arah pembangunan ke arah yang lebih berkelanjutan dengan perencanaan pensiun dini PLTU batu bara sebagai bagian dari komitmen JETP, namun di sisi lain tetap membangun PLTU kawasan untuk menyuplai industri hijau di Kalimantan Utara. Ini adalah salah satu bentuk solusi palsu,” tegasnya.

Senada dengan pernyataan tersebut, Ekonom dan Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira mengatakan revisi taksonomi hijau sebaiknya melibatkan partisipasi masyarakat yang terdampak oleh sektor ekstraktif termasuk PLTU  batu bara.

“OJK jangan diam-diam merumuskan taksonomi hijau yang isinya bertolak belakang dengan upaya keuangan berkelanjutan”, ungkap Bima Yudhistira.

Bima menambahkan, dengan kebutuhan pembiayaan transisi energi diperkirakan melebihi Rp 500 triliun, seluruh perangkat regulasi diharapkan mendukung pembiayaan di sektor pembangkit dan pembangunan transmisi energi terbarukan.

“Khawatir jika OJK bersikukuh mendorong pembiayaan PLTU batu bara atas nama hilirisasi dengan label “hijau”, banyak lembaga keuangan yang tidak tertarik mendanai energi terbarukan. Target emisi karbon jelas akan meleset jauh”, tandasnya.

Program hilirisasi pemerintah seperti KIHI di Kalimantan Utara dinilai berisiko meningkatkan kerusakan ekologi dari hulu ke hilir, terutama akibat pertambangan nikel yang mendorong deforestasi, pencemaran air laut, serta hilangnya sumber mata pencaharian penduduk lokal seperti nelayan.

“Fungsi lembaga OJK adalah mengawasi, melindungi dana publik (nasabah) untuk tidak digunakan para pebisnis tambang, atau industri kotor lainnya. Bukan malah menjadi stempel bantuan keuangan kepada perusahaan yang menjadi sumber bencana bagi masyarakat dengan kedok label industri hijau”, terang Seny Sebastian dari Jaringan Advokasi Tambang  (JATAM) Kaltim.

“Proyek ‘hijau’ KIHI yang diklaim sebagai proyek terbesar di dunia adalah proyek perampasan ruang hidup nelayan di Mangkupadi dan Tanah Kuning. Masih ditenagai oleh PLTU batu bara, berkedok hijau, KIHI lebih pantas disebut sebagai Kawasan Industri Hitam Indonesia,” sambung Wastaman, Direktur Perkumpulan Lingkar Hutan Lestari (PLHL).

Koalisi Setara mendesak OJK untuk menghentikan rencana label hijau PLTU kawasan dari skema pembiayaan hijau. Pihaknya menyebut industri hijau yang sumber energinya masih berasal dari energi batu bara tidaklah hijau, dan membahayakan upaya Indonesia untuk melakukan transisi energi dan arah pembangunan yang sejalan dengan komitmen di bawah 1.5 derajat.