ESG Indonesia – Perusahaan otomotif Jepang Toyota, melalui anak perusahaan Toyota Chemical Engineering (TCE) tengah mengembangkan bisnis daur ulang baterai yang disebut hampir membuat lompatan ekologis dengan cara baru tanpa proses pembakaran.
Pengembangan tersebut berusaha beralih dari proses daur ulang konvensional yang umumnya membakar baterai lama kemudian mengumpulkan bahan-bahan penting dari abunya, dikutip dari siaran persnya Toyota Times, Jumat (9/2).
Meskipun cara konvensional tersebut berhasil, proses ini sangat boros karbon dan bukan cara yang paling efektif untuk mendapatkan kembali semua bahan dalam sel baterai.
Anak perusahaan Toyota tersebut saat ini berencana menyuling elektrolit (kandungan dalam baterai) agar tidak terlalu mudah terbakar, dan lebih aman untuk ditangani. Dengan itu, TCE akan dapat mengoyak baterai secara lebih menyeluruh, dan menghancurkan sel-selnya, membuatnya lebih mudah untuk dipilah-pilah, dan untuk mendapatkan kembali materialnya.
Sisa-sisa baterai yang disebut “zat hitam” itu mengandung aluminium, besi, dan banyak logam langka, menurut TCE.
Perusahaan mengklaim metode baru ini mengurangi emisi CO2 (karbon dioksida) yang terlibat dalam proses daur ulang baterai, dan meningkatkan tingkat pemulihannya. “Tidak hanya akan berkontribusi pada netralitas karbon, tetapi juga memungkinkan untuk menyortir dan memulihkan bahan yang tidak dapat kami peroleh dari pembakaran konvensional, yang secara dramatis meningkatkan tingkat pemulihan. Ini adalah langkah menuju tercapainya ekonomi sirkular,” ujar anggota TCE Kenichiro Muramatsu.
Saat ini TCE melakukan proses daur ulang tersebut pada mobil-mobil listrik Toyota seperti Toyota Prius generasi ke-3 dan bZ4X. Perusahaan menyebut, peningkatan adopsi kendaraan listrik dalam beberapa tahun terakhir tentu semakin meningkatkan kebutuhan akan logam langka untuk baterainya, seperti kobalt atau lithium. Cadangan sumber daya mineral ini terbatas, dan penambangan yang tidak terencana dapat mengakibatkan penipisan sumber daya.
“Meskipun kebanyakan orang tidak pernah berkesempatan untuk melihat baterai tersebut, membuangnya (baterai) ketika mobil mencapai masa pakai semakin menjadi masalah yang serius,” tulis TCE.
TCE juga berupaya membuat pembangkit energi dari sampah menjadi lebih ramah lingkungan. Alih-alih hanya membakar sampah, perusahaan ini mengklaim bahwa dengan memasukkan sampah ke dalam panci bertekanan yang berisi serbuk gergaji, kertas sobek, dan air, mereka dapat mengubahnya menjadi bahan bakar cair.
Cairan yang dihasilkan kemudian dapat difermentasi menjadi gas mengandung metana yang digunakan untuk menghasilkan listrik.
Meskipun mengakui bahwa metodenya tidak sepenuhnya menghilangkan pembakaran, TCE menegaskan bahwa metode ini mengurangi emisi CO2 dengan menangkap produk sampingan jika memungkinkan, dan memanfaatkan limbah panas dari proses pembakaran untuk menghasilkan listrik tambahan.
“Di Jepang, di mana sumber daya langka, pemulihan sumber daya menjadi sangat penting. Saya memiliki cucu, dan saya ingin mewariskan lingkungan yang lebih baik lagi untuk anak-anak di masa depan. Itulah mengapa saya terus menghadapi tantangan-tantangan ini dengan melihat masa depan 20 atau 30 tahun dari sekarang,” kata Presiden TCE Yoshihiro Hayashi.