Kamis, 5 Des 2024

Tangkis Emisi, Pemerintah Godok RUU EBET

Tak hanya mempercepat transisi energi, ikhtiar pemerintah dalam menekan emisi juga dilakukan melalui penggodokan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Tebarukan (RUU EBET).

ESG Indonesia – Pencapaian Indonesia menuju Emisi Nol Bersih atau Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 masih dinilai realistis. Ambisi pemerintah mendongkrak porsi energi baru terbarukan atau EBT diproyeksikan bakal sesuai rencana seiring dukungan kejelasan regulasi serta sejumlah insentif pemikat.

Guna meyakinkan kepercayaan para investor energi bersih, pemerintah menginisasi usulan anyar adanya ketentuan nilai ekonomi karbon dalam Daftar Invetaris Masalah (DIM) pada Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Ide ini dilontarkan oleh pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif kepada Komisi VII Dewan Perwakilan Daerah (DPR RI).

“Mengenai (mekanisme) perdagangan karbon pada Pasal 7B yang tadinya tidak ada dalam DIM sebagai usulan baru dari pemerintah,” kata Arifin pada Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI di Gedung Senaya Jakarta, Senin (20/11).

Arifin menjabarkan, apabila beleid atau kebijakan telah disepakati oleh pemerintah dan legislatif, badan usaha dapat memperoleh insentif dari upaya pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) pada kegiatan pengusahaan energi baru dan energi terbarukan atau kegiatan konservasi energi yang dilakukan oleh Badan Usaha.

Pajak Karbon , Perdagangan Karbon Dekarbonisasi
Ilustrasi emisi karbon. (pixabay)

Upaya pengurangan emisi GRK tersebut, sambung Arifin, dapat menjadi bagian dari mekanisme perdagangan karbon melalui perdagangan emisi, pengimbangan (offset) emisi GRK, pungutan atas karbon, dan mekanisme lain yang ditetapkan oleh Pemerintah sesuai dengan perkembangan ilmu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. “Kami ingin menambahkan kata mekansime perdagangan karbon,” jelasnya.

Pemerintah sendiri menegaskan mekanisme perdagangan karbon harus mempertimbangkan aturan perundang-undangan di bidang lingkungkan hidup. Ketentuan ini bakal berlaku juga bila ada kegiatan investasi pengembangan EBET atau kegiatan konservasi energi sebagai upaya pengurangan emisi gas rumah kaca yang bersumber dari pendanaan luar negeri dalam kerangka kerja sama antarpemerintah. “Ini tambahan untuk pelengkap ketentuan nilai ekonomi karbon,” jelasnya.

rich result on google's SERP when searching for 'ESG'
Ilustrasi Jejak Karbon (Dok.Pixabay)

Karpet Merah TKDN

Pengembangan EBET yang masif di masa mendatang juga tengah meninjau penerapan konten lokal atau tingkat komponen kandungan dalam negeri (TKDN).

Kendati begitu, langkah itu perlu memperhitungkan ketersediaan atau kemampuan produk dan potensi dalam negeri, harga energi baru/energi terbarukan yang tetap kompetitif, dan pemberian fleksibilitas sesuai sumber pendanaan energi baru/energi terbarukan.

“Ini adalah tambahan kami (pemerintah), mungkin perlu pendalaman lebih lanjut untuk tercapainya kesepakatan,” ungkap Arifin.

Sebelumnya, pada Pasal 24/39 DIM RUU EBET, badan usaha yang mengusahakan energi baru dan energi terbarukan diharuskan mengutamakan produk dan potensi dalam negeri. Produk dan potensi yang dimaksud meliputi tenaga kerja Indonesia, teknologi dalam negeri, bahan-bahan material dalam negeri, dan komponen dalam negeri lainnya terkait Energi Baru/Energi Terbarukan.

Dalam rancangan regulasi tersebut, pemerintah juga telah memberikan syarat ketat kepada badan usaha untuk melakukan alih ilmu pengetahuan dan teknologi jika ingin berinvetasi energi baru/energi terbarukan di Indonesia. Hal ini bertujuan demi meningkatkan pengembangan sumber daya manusia lokal.

Dalam raker tersebut, turut hadir mewakili unsur pemerintah selain Menteri ESDM adalah perwakilan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.