Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) menyebut akses terhadap listrik yang berasal dari sumber karbon rendah sangat penting untuk keberlanjutan operasi smelter yang juga selaras dengan tujuan keberlanjutan global.
Pembangun fasilitas peleburan (smelter) sebagai bagian dari operasi penambangan terintegrasi terus didorong oleh Pemerintah Indonesia. Kebijakan tersebut diyakini dapat membantu mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan posisi Indonesia sebagai pemain utama dalam ekosistem kendaraan listrik global. Visi ini bukan tanpa dasar, mengingat bahwa Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar kedua di dunia, dengan total 22% dari cadangan nikel global.
Pengembangan smelter nikel, sebagai bagian dari kebijakan hilirisasi logam Indonesia, sangat penting untuk memastikan realisasi tujuan Indonesia menjadi produsen nikel global. Namun, salah satu aspek yang sering diabaikan oleh pelaku bisnis adalah ketersediaan sumber energi listrik yang terjangkau dan berasal dari sumber rendah karbon.
“Ketersediaan dan biaya listrik adalah elemen infrastruktur penting untuksmelter. Sekitar sepertiga dari biaya pemrosesan logam, listrik biasanya merupakan komponen tunggal terbesar dari biaya operasional dalam operasi peleburan. Biaya aktual akan bervariasi, berkisar antara 15% hingga 60% dari total biaya operasi peleburan, tergantung pada jenis logam, jenis tungku, proses yang digunakan, dan sumber listrik,” jelas Rizal Kasli, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) dalam keterangan resminya kepada esgindonesia.
Menurut Rizal, memastikan akses terhadap listrik yang berasal dari sumber karbon rendah sangat penting untuk keberlanjutan operasi smelter. Pasalnya, hal tersebut tidak hanya berkontribusi untuk mengurangi biaya operasional tetapi juga selaras dengan tujuan keberlanjutan global.
Komitmen menyediakan listrik dengan karbon lebih rendah salah satunya telah dilakukan PT. Vale Indonesia Tbk (PT Vale) dengan mengoperasikan tiga pabrik hydro, yakni PLTA Larona, Balambano, dan Karebbe, dengan kapasitas gabungan 365 Megawatt (MW). Pengoperasian fasilitas ini secara signifikan mengurangi emisi GRK sebesar lebih dari 1 juta ton CO2EQ per tahun dibandingkan dengan menggunakan bahan bakar batubara.
Selain itu PT. Vale Berkolaborasi dengan Zheijiang Huayou, menerapkan teknologi HPAL yang diimplementasikan di Blok Pomalaa dan Blok Sorowako, berkontribusi pada upaya pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Serta teknologi ramah lingkungan dan adopsi sumber energi yang bukan berasal dari batubara akan semakin meminimalkan emisi di fasilitas smelter yang dimiliki.
“Sejalan dengan target lingkungan, kami menargetkan pengurangan 33% dalam Emisi Lingkup 1 dan 2 pada tahun 2030 dan Net Zero Emission (NZE) ada tahun 2050. Kami berkomitmen untuk menggunakan sumber energi alternatif rendah karbon untuk semua kebutuhan energi pembangkit nikel yang baru. Meskipun pilihan ini lebih mahal, pengabdian kami yang tak tergoyahkan mendorong kami menuju realisasi NZE.” tambah Febriany Eddy CEO PT. Vale Indonesia.