Pemerintah terus menggodok regulasi baru terkait EBT agar bisa menarik investor.
“Kita harus perbaiki lagi regulasi-regulasi, kebijakan-kebijakan yang memang bisa menarik investasi,” kata Arifin.
Pihaknya juga menegaskan terkait target capaian EBT sejumlah 23 persen pada 2025.
“Memang kita memiliki target capaian untuk bisa mencapai 23 persen di tahun 2025. Tapi apa yg kita capai sekarang masih jauh ya, masih kurang lebih 60 persen dari target. Padahal waktu tinggal 2 tahun lagi,” pungkasnya.
Arifin mengatakan, masih jauhnya bauran EBT saat ini salah satunya disebabkan lantaran adanya pandemi COVID-19 beberapa tahun lalu.
Lebih lanjut pihaknya juga mendorong hilirisasi pertambangan karena memiliki peran sentral dalam memacu perekonomian. Menurutnya, setelah minyak dan gas, kini sektor mineral dan batubara yang jadi andalan.
“Karena value yang kita peroleh belum optimal, jadi dilakukan program-program hilirisasi sampai jadi produk jadi,” tuturnya.
Arifin menilai, program hilirisasi perlu didukung oleh industri penunjang yang lebih hilir. Dengan demikian, produk hasil pemurnian dari smelter dalam diolah kembali di dalam negeri sehingga nilai tambah yang diperoleh jadi lebih optimal.
“Apa yang bisa kita buat dari nikel sampai jadi baterai? Apa yang kita bisa buat dari copper katoda sehingga bisa mendukung transmisi untuk pengaliran listrik? Apa yang bisa kita lakukan lagi dari aluminium dan sebagainya? Nah, yang harus kita tumbuhkan industri hilirnya,” ujarnya.
Ia mengatakan, program hilirisasi tak hanya menarik investor tapi juga akan menciptakan banyak lapangan pekerjaan, apalagi Indonesia memiliki keunggulan demografi yang sangat potensial.
Tarik Daya Pikat Investor
Pemerintah telah menetapkan target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyampaikan tantangan dalam mengejar target bauran energi tersebut, mengingat sejauh ini yang telah dicapai sekitar 60% dari target.
“Salah satu penyebabnya adalah virus Covid-19 yang mewabah beberapa waktu lalu, sehingga menyebabkan lumpuhnya semua sektor perekonomian, termasuk pengembangan EBT,” ujar Arifin pada Seminar Nasional Outlook Perekonomian Indonesia 2024 yang diselenggarakan Kementerian Koordinator Perekonomian di Jakarta, Jumat (22/12).
Selain itu, Arifin mengatakan tantangan lainnya adalah infrastruktur di Indonesia yang perlu ditingkatkan, serta dengan meningkatkan demand kebutuhan listrik. Pemerintah saat ini, jelasnya, telah berusaha untuk mempersiapkan infrastruktur, dengan membuat program-program jaringan transmisi agar dapat mengakses pembangkit-pembangkit EBT.
“Untuk itu transmisi perlu kita bangun, transmisi listrik dan transmisi gas, transmisi gas inilah yang bisa menggantikan LPG untuk bisa masuk ke rumah tangga, restoran, dan hotel.” tambahnya.
Lebih lanjut, Arifin menuturkan bahwa sumber gas alam Indonesia akan dimanfaatkan pemerintah untuk bisa menggantikan LPG, karena impor LPG Indonesia lebih dari 5,5 juta ton per tahun dengan tren yang terus meningkat. Padahal, Indonesia memiliki gas berlebih yang diekspor ke negara lain, dan produksi dalam negeri akan bertambah dengan discovery baru yang sedang dipercepat produksinya.
Dalam hal regulasi, pemerintah juga akan membuat kebijakan-kebijakan baru sehingga bisa menarik investor untuk menanamkan modalnya membangun pembangkit energi baru terbarukan (EBT), serta dengan melakukan konversi bahan bakar minyak (BBM) menjadi listrik.
“Dengan kebijakan yang menarik, akan menarik investasi ke dalam negeri, dan akan mendukung industri untuk tumbuh, sehingga energi akan menjadi murah dan terjangkau,” tutupnya.