Berdasarkan Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP), regulasi pajak karbon ditargetkan selesai pada 2024 mendatang
Implementasi pajak karbon mampu mendorong perubahan perilaku masyarakat terhadap pengurangan emisi karbon, bukan hanya untuk menggalang penerimaan negara.
“Pajak karbon implementasinya bukan serta merta untuk penerimaan, tetapi mendorong mekanisme perubahan perilaku dari masyarakat kita,” kata Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Adi Budiarso di Jakarta.
Adi mengatakan bahwa saat ini pemerintah masih mematangkan regulasi mengenai pajak karbon. Pemerintah juga tengah mempertimbangkan dorongan mekanisme perdagangan karbon, kesiapan meraih komitmen National Determined Contribution (NDC), serta kesiapan industri dalam menyusun regulasi pajak karbon.
“Yang bagus dari kita, coba dorong di UU HPP itu ada mekanisme cap sama trade. Artinya, begitu ada penetapan target emisi, itu dia harus bayar pajak atau dia bisa membeli carbon credit. Mekanisme itu yang kita dorong ke depan,” jelas Adi.
Ia menuturkan, beberapa industri sudah tertarik dalam perdagangan karbon. Pemerintah meliputi Kemenkeu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutan, dan Kementerian ESDM pun terus melakukan pemantauan.
Perlu diketahui, pajak karbon dalam UU HPP mengatur tentang pengenaan pajak untuk tiap kelebihan emisi karbon yang dikeluarkan oleh badan usaha dari standar yang telah ditetapkan dalam sektornya. Indonesia sendiri mengejar target penurunan emisi karbon sebesar 31,89 persen dengan usaha sendiri dan 43,20 persen dengan dukungan internasional pada 2030.