Aspek bangkitan emisi GRK dari proses produksi industri hilir kelapa sawit akan menjadi pertimbangan konsumen untuk memilih produk hilir kelapa sawit dengan net emission index yang rendah.
ESG Indonesia – Industri hilir kelapa sawit memiliki komitmen untuk berkontribusi pada upaya global pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) menuju Net Zero Emission (NZE). Predikat industri rendah emisi menjadi bagian dari penentu akses pasar produk industri hilir kelapa sawit, sejalan dengan perubahan tren konsumen global.
Salah satu perubahan tren konsumsi global adalah kecenderungan memilih green products yang dihasilkan dari green industry, ditandai dengan proses produksi yang responsible, sustainable, dan traceable. Aspek sustainability pada industri hilir kelapa sawit dimaknai meluas dari produk yang berwawasan lingkungan, menjadi responsibility terhadap emisi gas rumah kaca yang dihasilkan sepanjang rantai pasok produknya.
“Ke depan, kami memprediksi bahwa aspek bangkitan emisi GRK dari proses produksi industri hilir kelapa sawit juga akan menjadi pertimbangan konsumen untuk memilih produk hilir sawit dengan net emission index yang rendah,” ujar Direktur Jenderal Industri Agro, Putu Juli Ardika, dalam sambutannya saat mewakili Menteri Perindustrian pada Pekan Riset Sawit Indonesia (PERISAI) 2023 di Surabaya, beberpa waktu lalu.
Sebagai induk industri kelapa sawit, industri agro tercatat tumbuh 3,90% pada Triwulan II – 2023 (year on year) dengan kontribusi terhadap PDB sektor non-migas mencapai 50,87%. Sementara, industri kelapa sawit sendiri menduduki peringkat pertama dalam kontribusi pertumbuhan sektor industri agro, sehingga Pemerintah menempatkan industri sawit sebagai salah satu prioritas pembangunan nasional.
Hilirisasi industri kelapa sawit tetap menjadi tema besar dalam kebijakan pengembangan sektor perkelapasawitan, dengan indikator pencapaian berupa jumlah ragam jenis produk hilir dan rasio volume ekspor bahan baku CPO/CPKO berbanding dengan produk olahan (processed palm oil).
“Saat ini kami mencatat terdapat sekitar 179 ragam jenis produk hilir sawit dan sekitar 90% volume ekspor berupa produk hilir. Hanya sekitar 10% volume ekspor berupa bahan baku CPO/CPKO,” lanjut Putu.
Indonesia sebagai negara produsen terbesar komoditas sawit berpeluang menjadi champion pada program dekarbonisasi melalui strategi konkret peningkatan penggunaan produk hilir sawit secara massif di dalam negeri.
Hal itu juga berfungsi sebagai wahana demand management untuk menjaga harga CPO internasional dan mempertahankan harga jual tandan buah segar (TBS) di tingkat petani rakyat atau smallholder pada tingkat yang remuneratif. Program mandatory biodiesel pada delapan tahun terakhir yang saat ini sebesar 35% (B35) adalah contoh konkretnya.
“Oleh karena itu, kami mengharapkan para pelaku usaha industri dapat berkolaborasi dengan para pelaku riset/inovasi pengembang teknologi dalam negeri untuk mengkomunikasikan benefit program hilirisasi industri, termasuk program mandatory biodiesel 35% (B35) ini terhadap upaya dekarbonisasi nasional. Hal ini untuk mendukung aspek pro-environment pada industri hilir kelapa sawit,” jelas Putu.
Strategi konkret program dekarbonisasi untuk mencapai Net Zero Emission di sektor industri kelapa sawit berikutnya adalah menginjeksi teknologi produk/proses produksi yang ramah emisi GRK.
Kementerian Perindustrian sedang menginisiasi introduksi teknologi baru produksi Minyak Sawit Mentah tanpa perebusan (sterilisasi) dengan metode SPOT (Steamless Palm Oil Technology). Penurunan emisi GRK berasal dari penggunaan steam yang lebih hemat, nihil limbah cair POME, dan efisiensi proses produksi komprehensif dan intensif.
“SPOT mampu menurunkan emisi GRK sekitar 20,84% dari pabrik kelapa sawit (PKS) konvensional berkapasitas sama, yaitu 1.296,1 kgCO2 eq/ton CPO pada PKS biasa menjadi 1.026,4 kgCO2 eq/ton produk PMO (Palm Mesocarp Oil),” papar Putu.
Kemenperin mengapresiasi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dalam mendukung beberapa kegiatan riset yang relevan dengan upaya dekarbonisasi nasional dalam rangka mencapai Net Zero Emission. Hal ini sejalan dengan target yang telah ditetapkan Menteri Perindustrian bahwa NZE sektor industri dapat tercapai pada tahun 2050, atau 10 tahun lebih awal dari target yang ditentukan yaitu pada tahun 2060.
“Kami mengharapkan agar topik riset tersebut dapat berkelanjutan untuk mencapai target Net Zero Emission yang telah ditetapkan,” tutup Putu.