Hilirisasi industri sawit seakan menjadi mantra sakti di salah satu sektor penggerak ekonomi Indonesia.
ESG Indonesia – Sebagai produsen dan pengekspor minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia memiliki luasan lahan perkebunan dan pabrik kelapa sawit yang masif. Bahkan, tak hanya diproduksi menjadi bahan makanan, kosmetik, maupun perlengkapan kebersihan rumah tangga, kelapa sawit juga telah menjadi salah satu andalan dalam pengembangan energi baru terbarukan (EBT) dalam negeri.
Melihat potensi yang begitu besar, pemerintah pun gencar melakukan hilirisasi industri sawit. Hilirisasi saat ini menjadi mantra sakti di semua sektor penggerak ekonomi di Indonesia. Salah satu sektor yang menjadi bagian dari kebijakan nasional itu adalah industri kelapa sawit.
Sebagai bagian yang menjadi fokus Kementerian Perindustrian (Kemenperin), hilirisasi industri sawit dimaknai sebagai upaya strategis meningkatkan nilai tambah komoditas kelapa sawit melalui proses pengolahan agar menjadi produk turunan yang memiliki nilai jual lebih tinggi.
Mengutip laman resmi Kemenperin, Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika menyampaikan, beberapa keuntungan yang telah didapatkan dari program hilirisasi industri sawit, antara lain, optimalisasi penyerapan hasil produksi petani rakyat (smallholder), penyediaan bahan pangan, nonpangan, dan bahan bakar terbarukan, hingga membangkitkan ekonomi produktif berbasis industri pengolahan.
Selain itu, hilirisasi industri sawit juga mampu meningkatkan perolehan devisa negara dari ekspor produk hilir, berkontribusi pada keuangan negara melalui penerimaan pajak dan bukan pajak, serta menyuplai kebutuhan dunia terhadap pangan dan energi (feeding and energizing the world).
Peta Jalan
Dalam menjalankan program hilirisasi industri kelapa sawit, Kemenperin menerapkan bauran kebijakan (policy mix). Ini sesuai Peraturan Pemerintah nomor 14 tahun 2015 tentang Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional 2015–2035 dan beberapa peraturan tentang kebijakan industri nasional.
Sebagaimana diketahui, peta jalan pengembangan industri hilir kelapa sawit diatur melalui Peraturan Menteri Perindustrian nomor 13 tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perindustrian nomor 111/M-IND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan Pengembangan Klaster Industri Hilir Kelapa Sawit, yang menjadi prakarsa penentuan prioritas pengembangan industri hilir kelapa sawit.
Terdapat dua kebijakan utama dalam mempercepat pertumbuhan populasi industri hilir kelapa sawit, yaitu kebijakan fiskal tarif bea keluar progresif sesuai rantai nilai industri, serta insentif perpajakan bagi investasi baru atau perluasan sektor industri oleofood, oleochemical, dan biofuel.
Kedua kebijakan tersebut, dinilai efektif dalam mendorong hilirisasi industri sawit. Dalam sejarahnya, hilirisasi industri kelapa sawit memang sudah lama berjalan. Data pada 2007, memperlihatkan volume ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil(CPO) sudah sekitar 60 persen dari total ekspor kelapa sawit nasional. CPO adalah bahan baku industri pangan, nonpangan dan biofuel di negara tujuan ekspor sehingga nilai tambahnya kurang dinikmati oleh domestik.
Pada saat itu (akhir 2007), jumlah atau ragam jenis produk hilir turunan kelapa sawit dan minyak sawit yang dihasilkan di Indonesia hanya sekitar 54 jenis. Kini, di awal 2024, jumlahnya sudah berkembang menjadi 179 jenis, antara lain, meliputi produk oleofood dan oleochemical. “Melalui kebijakan bea keluar yang berorientasi pro-industri, pertumbuhan kapasitas produksi industri minyak goreng, oleofood, oleokimia, dan biodiesel meningkat secara signifikan,” jelas Putu.
Berikutnya, pada 2010, kapasitas pabrik pengolahan CPO (refinery) hanya sekitar 25 juta ton. Namun, melalui kebijakan hilirisasi, kapasitasrefinerymeningkat tiga kali lipat menjadi 75 juta ton pada 2022.
Sementara itu, kapasitas terpasang pabrik biodiesel saat ini telah mencapai 17,5 juta ton per tahun, kemudian kapasitas terpasang industri oleofood mencapai 2,7 juta ton per tahun, dan kapasitas terpasang industri oleokimia mencapai 11,6 juta ton per tahun. Pencapaian gemilang itu merupakan hasil konsistensi kebijakan hilirisasi industri sawit dalam periode yang panjang.
Kontribusi Sawit
Menganalisis data Badan Kebijakan Fiskal di 2019 dan 2022, Kemenperin mencatat industri kelapa sawit berkontribusi sebesar 3,5 persen terhadap PDB nasional. Hingga saat ini, industri kelapa sawit dari sektor hulu sampai hillir mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 5,2 juta orang dan menghidupi lebih dari 21 juta jiwa.
Dalam aspek kuantitatif, ekspor produk industri kelapa sawit mencapai total volume 282 juta MT dengan total nilai USD176,84 miliar selama periode tahun 2015–2022. Dari kinerja ekspor tersebut, negara melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menerima pendapatan pungutan ekspor sebesar Rp182 triliun.
Dana tersebut telah digunakan sekitar Rp152 triliun untuk menjaga keberlanjutan kelapa sawit nasional melalui program peremajaan sawit rakyat, peningkatan kualitas SDM, riset dan pengembangan sawit, advokasi dan kampanye positif sawit, serta peningkatan sarana dan prasarana, termasuk insentif mandatory biodiesel.
Melansir indonesia.go.id, program hilirisasi industri sawit mempunyai indikator pencapaian berupa komposisi ekspor antara bahan baku dan produk olahan. Pada 2015, komposisi ekspor minyak sawit meliputi 18% CPO dan 6% CPKO, yang keduanya merupakan bahan baku industri, dan sisanya 61% produk refinery serta 15% produk lainnya.
Sedangkan pada 2022, komposisi ekspor bahan baku mengalami penurunan menjadi 2% CPO dan 4% CPKO, karena ekspor produk hilir mengalami peningkatan signifikan, yang meliputi 73% produk refinery dan 21% produk lainnya.
Hilirisasi industri kelapa sawit juga telah mendukung pelaksanaan program mandatory biodiesel sejak 2015, mulai dari B15, B20, B30 dan saat ini B35 pada tahun 2023. Ke depan, Indonesia akan menerapkan B40, B50 hingga B100; dengan komposisi Biodiesel FAME dan Greenfuel, yang merupakan produk hilir tingkat lanjut dari minyak sawit untuk bahan bakar terbarukan.