Indonesia dan Korea saling berbagi informasi, pengalaman, dan praktik terbaik dalam implementasi ekonomi sirkular.
ESG Indonesia – Kepala Organisasi Riset Energi dan Manufaktur Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Haznan Abimanyu, mengungkapkan bahwa ekonomi sirkular menerapkan prinsip memaksimalkan nilai sumber daya sekaligus meminimalkan limbah dan dampak terhadap lingkungan.
Hal tersebut diungkapkannya dalam workshop bertajuk “Knowledge Sharing for Sustainable Futures: Integrating Life Cycle Assessment and Sustainable Production Systems to Strengthen Circular Economy“,
“Saat ini, sistem ekonomi di Indonesia masih menggunakan model linier, yakni, model yang dianggap mampu memaksimalkan hasil dan keuntungan. Namun, model linier ini tidak berkelanjutan dalam jangka panjang karena menggunakan pendekatan “ambil-pakai-buang”, jelas Haznan dalam keterangannya dikutip dari laman BRIN, Jakarta, Selasa (27/2/2024).
Ekonomi sirkular adalah konsep ekonomi yang menggunakan sumber daya alam secara efisien. Limbah diubah menjadi sumber daya, dan produk dirancang ulang untuk digunakan kembali atau didaur ulang. Tujuannya, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
“Ekonomi sirkular menawarkan alternatif yang menarik – sebuah sistem regeneratif di mana sumber daya digunakan, digunakan kembali, dan diregenerasi, dibandingkan dibuang begitu saja setelah digunakan sekali,” katanya.
Karena itu, jelas Haznan, kita harus memanfaatkan kekuatan pengetahuan dan inovasi. Penilaian siklus hidup (Life Cycle Assessment/LCA) adalah metode yang memberikan pandangan komprehensif tentang dampak lingkungan suatu produk atau layanan di seluruh siklus hidupnya.
“Mulai dari ekstraksi bahan mentah hingga produksi, distribusi, penggunaan, dan pembuangan atau daur ulang yang sudah habis masa pakainya,” jelasnya.
Namun, lanjut Haznan, potensi sebenarnya LCA terletak pada integrasinya dengan sistem produksi berkelanjutan. Menggabungkan wawasan LCA ke dalam desain dan pengoperasian proses produksi, dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya, meminimalkan timbulan limbah, dan mengurangi dampak lingkungan.
Menurutnya, untuk mencapai integrasi ini, diperlukan lebih dari sekedar kemajuan teknologi. Hal ini memerlukan kolaborasi lintas sektor, disiplin ilmu, dan pemangku kepentingan.
“Mari kita sadari bahwa baik peneliti, pembuat kebijakan, pengusaha, atau konsumen memiliki peran dalam membentuk masa depan yang lebih berkelanjutan,” ajaknya.
Senior Research Fellow of Korea Institute for Industrial Economics & Trade (KIET) Jin Myon Lee mengatakan, saat ini merupakan masa kritis di mana kita harus mencari solusi baru untuk mengatasi berbagai tantangan lingkungan yang dihadapi planet kita. Hal ini menggarisbawahi pentingnya ekonomi sirkular.
“Tujuan kami bekerja sama adalah untuk memulihkan bumi dan dalam prosesnya mencapai ekonomi berkelanjutan bersama antara Indonesia dan Korea,” katanya.
“Menyusul penandatanganan naskah kerja sama (MoU) bilateral pada Korea Global Forum 2023 di Seoul tahun lalu, acara ini menandai joint workshop pertama sekaligus penandatanganan perjanjian yang meresmikan dimulainya kerja sama antara BRIN dan KIET,” tambahnya.
Diketahui, BRIN melalui Pusat Riset Sistem Produksi Berkelanjutan dan Penilaian Daur Hidup dan KIET sepakat bekerja sama dalam penelitian dan pengembangan model keberlanjutan industri ekonomi sirkular, untuk sistem produksi berkelanjutan dan penilaian siklus hidup pada industri yang berkaitan dengan kimia.
Penerapan Ekonomi Sirkular pada Industri Hijau
Dalam kesempatan ini, Pembina Industri Ahli Madya Kementerian Perindustrian Andriati Cahyaningsih mengatakan, ekonomi sirkular merupakan bagian dari penerapan industri hijau. Perubahan iklim, kelangkaan sumber daya alam, dan aksi keberlanjutan mendorong penerapan industri hijau untuk penguatan daya saing industri dan industri berkelanjutan.
“Saat ini sudah tersedia 35 Standar Industri Hijau (SIH) untuk 35 komoditi,” katanya melalui sambungan zoom.
Program pengembangan ekonomi sirkular untuk sektor industri, lanjut dia, telah diinisasi sejak 2012. “Terdapat 5 SIH berkaitan dengan produk kemasan seperti kertas, kaca, dan plastik, dan 16 SIH yang mensyaratkan penerapan ekonomi sirkular dalam aspek kemasan,” paparnya.
Dirinya lantas menguraikan potensi penerapan industri hijau dalam kemasan produk. Diantaranya penerapan recycle content untuk bahan baku komoditi tas/kantong belanja plastik dan bioplastik, penggunaan limbah kertas sebagai bahan baku kemasan kertas daur ulang, limbah plastik sebagai bahan baku kemasan plastik daur ulang, penggunaan cullet/pecahan kaca sebagai campuran bahan baku pembuatan kaca, dan sebagainya.
“Kemudian penggunaan kemasan mudah terurai (biodegradable), dan pembuatan kemasan sesuai dengan kapasitas isi agar tidak ada material yang berlebih,” tandasnya.
Sementara itu, Direktur Pengembangan Standar Agro, Kimia, Kesehatan, dan Penilaian Kesesuaian – Badan Standardisasi Nasional Heru Suseno menjelaskan, mengacu pada Pasal 4 UU No. 20 tahun 2014, standardisasi dan penilaian kesesuaian berlaku terhadap barang, jasa, sistem, proses, dan personal.
“Mengapa perlu pendekatan standardisasi dan penilaian kesesuaian? Agar terjadi sinergi dan kolaborasi antar pemangku kepentingan,” jelasnya.
Heru menjelaskan bahwa logo ekolabel adalah logo yang hak ciptanya dimiliki Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Logo ini menyatakan bahwa sebuah produk tertentu telah memenuhi aspek lingkungan. Meliputi perolehan bahan baku atau sumber daya alam, proses produksi, distribusi, penggunaan, dan/atau pembuangan sisa produk.
“Skema sertifikasi ekolabel ini terbagi menjadi dua. Pertama, ekolabel tipe 1, yang penilaian kesesuaiannya dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Ekolabel (LSE). Dan kedua, ekolabel tipe 2, yang penilaian kesesuaiannya dilakukan oleh Lembaga Verifikasi Ecolabel (LVE),” jelasnya.
LSE adalah lembaga yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional dan telah memenuhi persyaratan untuk melakukan kegiatan sertifikasi ekolabel. Sedangkan LVE adalah lembaga yang telah teregistrasi di KLHK sebagai lembaga yang melakukan verifikasi terhadap pernyataan klaim aspek lingkungan suatu produk.