Semakin tingginya environmental awareness dari konsumen furnitur, industri didorong untuk menghasilkan produk berbasiseco-design.
ESG Indonesia – Indonesia masih memiliki peluang yang besar dalam pengembangan industri furnitur dan mebel karena didukung ketersediaan bahan baku yang melimpah, di antaranya beragam jenis kayu yang meliputi kayu meranti, jati, mahoni, dan akasia. Upaya hilirisasi atau peningkatan nilai tambah sumber daya alam ini perlu terus dipacu untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional.
“Di sisi lain, Indonesia merupakan sumber dari 80 persen rotan dunia, dan Indonesia juga memiliki potensi bambu yang memiliki peluang besar untuk dikembangkan produk-produk hilirnya. Apalagi, nilai ekspor produk furnitur kita pada tahun 2022 mencapai USD2,5 miliar,” kata Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika di Jakarta, Selasa (23/1/2024).
Dirjen Industri Agro menyebutkan, saat ini pihaknya fokus menjalankan lima kebijakan strategis dalam upaya pengembangan industri mebel yang bisa berdaya saing global. Kelima jurus tersebut, yakni fasilitasi ketersediaan bahan baku, fasilitasi ketersediaan SDM terampil, fasilitasi peningkatan pasar dan penguatan riset referensi pasar, fasilitasi peningkatan produktivitas, kapasitas, dan kualitas produk, serta fasilitasi iklim usaha kondusif dan peningkatan investasi.
“Untuk fasilitasi ketersediaan bahan baku, dilakukan melalui upaya perbaikan yang berfokus pada penyediaan akses yang lebih baik sehingga tercapai pola rantai pasok bahan baku mebel ideal melalui fasilitasi Pusat Logistik Bahan Baku Industri Furnitur, di mana untuk bahan baku papan kayu difasilitasi mulai tahun 2022, sedangkan tahun 2024 akan difasilitasi untuk bahan baku rotan,” paparnya.
Berikutnya, fasilitasi ketersediaan SDM kompeten akan dilakukan melalui optimalisasi peran Politeknik Furnitur dan Pengolahan Kayu di Kendal. Unit pendidikan vokasi milik Kemenperin ini telah menerapkan kurikulum yang bersifat dinamis, dengan disesuaikan kebutuhan pasar.
Dalam upaya fasilitasi peningkatan pasar dan penguatan riset referensi pasar, Kemenperin kerap memfasilitasi keikutsertaan pelaku industri mebel dalam pameran tingkat nasional maupun internasional.
“Pemerintah juga gencar menggalakkan belanja APBN melalui pemanfaatan produk ber-TKDN, di mana hal ini juga dapat menjadi kesempatan pelaku industri mebel dalam meningkatkan pasar dalam negeri,” tutur Putu.
Sementara itu, salah satu upaya fasilitasi peningkatan produktivitas, kapasitas, dan kualitas produk dilakukan di lini teknologi melalui Program Restrukturisasi Mesin/Peralatan Industri Pengolahan Kayu, berupa pemberianreimbursepenggantian sebagian pembelian mesin/peralatan sesuai kriteria. Program ini bertujuan untuk mendukung pembaruan teknologi mesin/peralatan dalam meningkatkan produktivitas.
“Selain itu, Kemenperin juga melaksanakan program pengembangan konsep desain furnitur, di mana bentuknya adalahworkshopkolaborasi antara desainer furnitur dengan pelaku industri. Kemudian peningkatan kualitas produk juga didukung dengan penerapan SNI dan SKKNI,” imbuhnya
Selain kebijakan-kebijakan tersebut, menurut Putu, pemerintah juga terus berusaha untuk menciptakan iklim berusaha yang kondusif bagi pelaku industri furnitur, antara lain melalui pemberian fasilitas insentif perpajakan berupatax allowance, serta kemudahan prosedur ekspor dan impor.
“Di samping terus meningkatkan pasar ekspor baik ke pasar tradisional maupun nontradisional, pelaku industri furnitur juga diharapkan agar tidak meninggalkan pasar dalam negeri. Dengan inovasi-inovasi produksi yang lebih efisien maka konsumen dalam negeri juga akan dapat menikmati produk furnitur berkualitas karya anak bangsa,” ujarnya.
Kemudian, seiring semakin tingginyaenvironmental awarenessdari konsumen furnitur, diharapkan dapat memacu pelaku industri untuk terus melakukan perbaikan-perbaikan dalam produksi.
“Saat ini pelaku industri furnitur kita agar bisa lebih efisien, memanfaatkan sumber dari bahan baku lestari, lebih ramah lingkungan, ikut menerapkancircular economy, serta berperan dalam penurunan emisi gas rumah kaca, namun tetap dapat menghasilkan produk berbasiseco-design,” pungkas Putu.