Dampak perubahan iklim kian terasa dengan cuaca esktrem yang terjadi pada tahun ini, yang bisa menyebabkan krisis pangan, sehingga pemerintah pun harus segera melakukan upaya mitigasi.
ESG Indonesia – Ketua Komisi V DPR RI Lasarus meminta Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) semakin meningkatkan upaya preventif terhadap efek dari perubahan iklim, terutama terhadap siklus tanam yang berdampak ketahanan pangan secara nasional.
Hal tersebut diungkapkan Lasarus saat memimpin Rapat Dengar Pendapat dengan Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dan Kepala Basarnas Kusworo dengan agenda evaluasi pelaksanaan APBN 2023 sampai dengan 31 Oktober 2023 dalam pembahasan program/kegiatan Tahun Anggaran 2024 dan perubahan iklim global dan antisipasi cuaca ekstrim guna mencegah krisis pangan, di Gedung Nusantara DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (8/11/2023).
“Tahun 2023 ini menjadi tahun yang sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, terutama suhu panas terik di siang hari. Jadi memang sudah sangat terasa sekali perubahan iklim ini yang kita rasakan. Tentu ini berdampak di seluruh dunia, di mana-mana terjadi kekeringan dan seterusnya,” tandas Politisi Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan tersebut.
Di Indonesia, ungkapnya, telah marak terjadi sawah yang mengalami gagal panen akibat perubahan iklim, sehingga sangat mengkhawatirkan terjadinya krisis pangan. “Nah ini satu-satunya jalan bagaimana mengantisipasi itu. Sehingga, dampaknya bisa kita minimalisir terutama terhadap ketahanan pangan. Sehingga ini saya rasa penting untuk menjadi perhatian dari BMKG dan menghindarkan kita juga dari kekurangan bahan pangan,” tegas Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini.
“Sehingga, upaya preventif ini penting menjadi perhatian BMKG untuk menghindarkan kita juga dari kekurangan bahan pangan” tambahnya.
Lebih lanjut, sebagaimana termaktub dalam kesimpulan rapat, Lasarus menyatakan Komisi V DPR RI meminta BMKG dan Basarnas untuk melakukan penguatan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim global, meningkatkan literasi iklim kepada masyarakat dan seluruh stakeholder serta penguatan Sumber Daya Manusia BMKG.
Merespon hal itu, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati memaparkan pihaknya telah cukup gencar melakukan sosialisasi terkait antisipasi perubahan iklim. Diantaranya melalui rapid volunteer, misalnya melalui sosial media, kemudian ke sekolah-sekolah ke masyarakat dan juga dilampirkan dalam Sekolah Lapang Iklim (SLI).
Bahkan, tuturnya, BMKG telah menyampaikan informasi dan rekomendasi kepada Presiden serta sudah dibahas antar Kementerian. Kemudian, lanjutnya, di Bappenas juga telah ditindaklanjuti untuk menyusun rencana pembangunan jangka panjang yang nantinya akan ditetapkan dengan Instruksi Presiden (Inpres).
“Jadi secara nasional itu disiapkan. Kemudian yang untuk masyarakat kami sebetulnya juga cukup gencar melakukan sosialisasi, melalui rapid volunteer misalnya melalui sosial media, kemudian ke sekolah-sekolah ke masyarakat, dan juga disampirkan dalam SLI itu, meskipun SLI itu dimasukkan untuk antisipasi perubahan iklim,” papar Kepala BMKG.
Ancaman Krisis Pangan
Sebelumnya, Ketua DPR RI Puan Maharani mengungkapkan, ancaman krisis pangan telah menjalar ke seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia. Hal itu ditandai dengan lonjakan harga pangan seperti beras dan gula yang kini tengah terjadi.
“Sistem pangan yang belum betul-betul efektif menimbulkan konflik agraria, kemiskinan, kelaparan, stunting, obesitas, perubahan iklim, dan kerusakan alam,” ujar Puan dalam keterangan tertulisnya (18/10/2023).
Lebih lanjut Puan menjelaskan soal ancaman krisis pangan, di mana inflasi beras secara bulanan pada September 2023 mencapai angka 5,61 persen, sekaligus menjadi yang tertinggi dalam lima tahun terakhir. Bahkan, harga beras kualitas medium tahun ini mengalami kenaikan yang tidak biasa, yakni tembus Rp12.685 per kilogram atau naik 29,6 persen sepanjang 2023.
Selain itu, melalui pemantauan harga pada Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok (SP2KP), terdapat 338 kota dan kabupaten di Indonesia yang mengalami lonjakan Indeks Perkembangan Harga (IPH) gula. Berkaca pada hal itu, Puan mengingatkan Pemerintah memperhatikan apa penyebab melambungnya harga beras. Ia menilai salah satunya karena kendala alih fungsi lahan sawah yang terjadi secara masif.
“Kurangnya produksi pangan yang diakibatkan krisis lahan juga ditambah fenomena kekeringan yang berkepanjangan membuat produksi pangan seperti beras juga mengalami penurunan drastis,” ungkapnya yang khawatir akan ancaman krisis pangan.
Menurut data Kementerian Pertanian (Kementan), alih fungsi lahan pertanian mencapai 90.000 hingga 100.000 hektar setiap tahun.
Saat ini diketahui, luas lahan baku sawah (LBS) telah mengalami penyusutan, termasuk di 8 provinsi sentra beras nasional, yakni Sumatera Barat, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Terlihat pada 2019, total LBS di 8 provinsi itu mencapai 3,97 juta hektare (ha), sedangkan pada 2021 susut menjadi 3,84 juta ha.
“Banyaknya alih fungsi lahan harus menjadi pengingat agar Pemerintah membuat pemetaan baru serta regulasi khusus yang berkaitan dengan zonasi lahan subur. Tujuannya agar zonasi tersebut diperuntukkan untuk lahan pertanian dan mencegah terjadinya alih fungsi lahan,” tutup Puan.